Sragen, kabarterdepan.com- Pasar Krempyeng Tempelrejo merupakan satu-satunya pasar yang ada di Desa Tempelrejo Mondokan, Kecamatan Mondokan, Kabupaten Sragen yang sudah beraktifitas sejak puluhan tahun yang lalu.
Uniknya pasar yang beroprasi dari jam 04.00 WIB hingga Jam 06:30 WIB pasar krempyeng juga disebut sebut sebagai pasar fajar.
Pedangang pasar tersebut menggunakan bahu jalan sebagi lapak mereka, namun ada juga pedangang yang menempati kios milik pribadi. Pasar ini ramai dikunjungi para pedangan sayur keliling, karena secara georafis desa Tempelrejo jauh dari pasar tradisional.
Santernya pemberitaan di beberapa media terkait adanya pengelolaan pasar krempyeng yang dikelola masyarakat sekitar menjadi kontroversi pasalnya beredar isu tentang adanya penarikan retribusi terhadap puluhan para pedangang dan parkir kendaraan baik pedagang atau pengunjung pasar.
Slamet, Bayan Tempelrejo saat dikonfirmasi Sabtu (9/3/24) malam, mengatakan pengelolan Pasar Krempyeng yang dilakukan atas dasar persetujuan dari Riman (eks Kepala desa) yang dulu menjabat sebelum Agung (kades yang sekarang).
Slamet mengakui pengelolaan Pasar Krempyeng dilakukan setelah dirinya menjabat sebagai bayan pada tahun 2018 hingga sekarang. Terkait pengelolaan pasar adanya tarikan retribusi pihaknya sudah menjadi kesepakatan antara pedang dengan warga setempat.
“Tentang retribusi sudah berdasarkan musyawarah warga diwakili ketua RT lingkungan setempat dan pedagang,” katanya..
Slamet menambahkan dari hasil pengelolaan pasar, dirinya hanya menerima uang hasil retribusi dari pedangan sebesar 300 ribu perbulan.
“Yang saya terima hanya sebesar Rp. 300.000/bulan, digunakan untuk membayar tenaga kebersihan , mengganti lampu yang rusak di sekitar pasar,” katanya.
Selain untuk tenaga kebersihan dan kebutuhan makam sekitar sisa dari hasil retribusi digunakan untuk kegiatan acara 17 Agustusan ditiap tahunnya.
“Sisanya digunakan untuk acara 17an se-Kabayanan seperti tahun kemarin digunakan untuk membeli 2 ekor kambing untuk dinikmati saat acara 17an,” ungkapnya.
Namun, setelah dikonfirmasi lebih lanjut mengenai rincian kegunaan uang hasil retribusi pasar krempyeng, keterangan bayan slamet berbeda dengan jawaban yang ia katakan sebelumnya.
Pihaknya menjelaskan secara rinci hasil retribusi parkir yang mengelola adalah RT setempat, dirinya hanya mengelola uang hasil retribusi pedangang saja.
“Hasil retribusi pedangan untuk membayar tenaga kebersihan sebesar 1 juta dan sewa tempat untuk pembuangan sampah pasar sebesar 200 ribu perbulan,” jelasnya.
Di tempat terpisah Kaur Umum Desa Tempelrejo, Joko saat dikonfirmasi Minggu (10/3/24), dibmasa kepemimpinan Kades Mulyono (Mbah Bei) tahun 2013 Pasar Krempyeng Tempelrejo di dalam APBDes pernah menjadi Pendapatan Aset Desa (PAD) saat itu.
“Dulu sempat dilelang, dan hasilnya masuk ke PAD desa tercatan di APBDes sebesar 300.000 rupiah hasil dari retribusi pasar krempyeng tersebut,” tuturnya.
Joko menambahkan, setelah ada rencana pembangunan Pasar Krempyeng oleh pihak Desa, terjadi gugatan dari pemilik lahan kepada Penerintah Desa Tempelrejo karena lahan yang akan dibangun bersatatus milik pribadi salah satu warga dan dimenangkan oleh pihak penggugat, pedangang yang berjualan ditanah warga tersebut pindah dipinggir jalan.
“Sejak pedangan pindah dipinggir jalan tidak ada lagi retribusi yang masuk ke Desa Tempelrejo hingga sekarang ini,” terangnya.
Senada disampaikan Kardi Kaur Pemerintahan Desa Tempelrejo, ia membenarkan bahwa pasar krempyeng sudah ada sejak dulu, dan sempat masuk PAD Desa. setalah ada konflik gugatan di Pengadilan pasar krempyeng menjadi tak terurus.Hingga kini para pedagang yang berasal dari luar Desa tempelrejo memanfaatkan bahu jalan untuk berjualan.
” Rata-rata pedagang dari luar desa tempel menggunakan bahu jalan sebagai lapak untuk berjualan, sedangkan untuk pedagang lokal menempati kios yang mereka bangun di lahan milik pribadi mereka,” ujarnya.
Disinggung terkait isu adanya tarikan retribusi yang dilakukan oleh lingkungan sekitar Kardi mengatakan, dirinya tidak begitu faham.
“Coba tanyakan kepada pak bayan Slamet dan pak RT setempat, mereka yang lebih tahu,” tambah kardi.
Disisi lain,terkait kegiatan pasar krempyeng, Kepala Desa Tempelrejo Agung Dwi Harjanto menyatakan tidak mengetahui sama sekali adanya kegiatan penarikan retribusi parkir dan pedangan pasar krempyeng tersebut.
“Saya tidak tahu sama sekali kalau ada retribusi dipasar krempyeng tersebut,” tuturnya.
Kades juga mengakui bahwa terkait isu yang beredar dimedia terkait adanya penarikan retribusi pasar krempyeng pihaknya belum menerima laporan atau aduan dari warga lingkungan setempat.
Pihak pemerintah desa tidak pernah ada pembahasan terkait retribusi di pasar krempyeng, ia menyebut bahwa bayan tempelrejo atau warga setempat belum pernah memberikan informasi atau laporan apapun tentang kegiatan tersebut.
“Semenjak saya menjabat tahun 2019, terkait retribusi yang di bebankan kepada pedagang saya tidak tahu menahu ” Tandasnya.
Angung menyebutkan saat ini tidak ada tanda bahwa kegitan jual beli yang dilakukan pedangang dan pembeli tersebut merupakan sebuah pasar.
“Tidak ada tanda papan nama atau tanda yang lainnya yang menyebut itu tempat adalah pasar, sebab aktifitas ditempat tersebut berjalan hanya beberapa jam saja,” terang Kades tempelrejo.
Lebih lanjut ia menambahkan pihak desa tidak mempunyai kewenangan apa-apa terkait adanya aktifitas kegiatan jual beli ditempat tersebut.
“Pemerintah Desa tidak punya kewenangan apa-apa karena kebayakan lahan berjualan ditempat tersebut milik pribadi warga masyarakat,” tambahnya.
Dari hasil informasi yang terhimpun, adanya penarikan Retribusi kegiatan pasar krempyeng di ruas Jalan Raya Tanon -Mondokan tersebut, Retribusi yang dibebankan kepada puluhan pedagang pasar tersebut sebesar Rp. 2.000, demikian juga dengan parkir kendaraan pedagang dan pengunjung.
Salah satu pedangan gerabat bumbu (Sr) yang enggan disebutkan mama lengkapnya saat dikonfirmasi (10/3/24) membenarkan setiap setiap hari dirinya harus mengeluarkan 4 ribu parkir dan kebersihan.
” Total Tiap hari 4 ribu rupiah untuk parkir dan kebersihan,” ungkapnya.
Senada disampaikan (R) pedangang lainnya menjelaskan selain ada retribusi kebersihan sampah dan parkir pedangan disini juga ada arisan pedangang.
“Ada arisan pedangan yang ikut sekitar 24 pedangan,” ucapanya.
Disampaikan Hendro salah satu penguna jalan mengatakan aktifitas pasar krempyeng terutama pagi hari jam 05:00 WIB pagi lalulintas dijalan tersebut sangat padat, dirinya harus mengurangi kecepatan karena banyaknya kendaraan dan lalu lalang para pengunjung pasar.
Setiap pagi saya lewat dipasar tempel lalulintas padat, kalau sampai disitu ya alon-alon (pelan-pelan) bawa kendaraan,” kata pria yang sehari-hari melewati pasar krempyeng untuk bekerja.
Adanya retribusi sempat menjadi sorotan dari salah satu aktifis LSM solo raya, yang menyayangkan adanya adanya penarikan retribusi tersebut, sebab hasil dari penarikan retribusi tidak ada kejelasannya.
Pasar krempyeng didesa tempelrejo lokasinya berada dibahu jalan milik kewenangannya DPU Kabupaten Sragen, meskipun bukan dikategorikan bukan pasar milik desa namun pungutan yang dihasilkan jika di hitung secara global pertahun nilainya sangat fantastis.
” Dari hasil investigasi kami dilapangan, hasil dari pungutan pasar krempyeng ditempelrejo mencapai 120 ribu per hari jika diglobal dalam sebulan bisa mencapai 3,6 juta rupiah,” papar Anggit salah satu aktivis LSM yang bersteatmen di media beberapa waktu yang lalu. (Kin).
Eksplorasi konten lain dari Kabar Terdepan
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.