IMM Toyota - Mojokerto
Kitoshindo
Birth Beyond

Aset Dilelang KPNL Jauh Dari Harga Pasar, Apa Bisa Dibatalkan?

Avatar of Andy Yuwono
Ilustrasi lelang. (Freepik)
Ilustrasi lelang. (Freepik)

Pada dasarnya seseorang yang memantau, menilai dan bertransaksi melalui Lembaga Lelang tentunya ingin mendapatkan harga yang jauh dibawah harga pasar (relative murah) dibandingkan dengan harga pasar sehingga nantinya bisa mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Entah itu lelang barang elektronik, kendaraan bermotor maupun properti, seringkali pembeli adalah pedagang yang ingin mendapatkan keuntungan yang berlebih dan hal ini sangatlah wajar adanya. Pemodal mendapatkan informasi jika ada barang yang akan dilelang oleh pihak bank (internal/ orang dalam) melalui Kantor pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPNL) untuk dapat mengikuti proses lelang tersebut secara sah.

Responsive Images

Berdasarkan putusan di Direktori Mahkamah Agung perkara sejenis seringkali akan dimenangkan oleh pihak Penjual (dalam hal ini adalah Pihak Bank) dan Pembeli asset tersebut karena dianggap Pihak Bank adalah pihak yang harus didahulukan (hak preferen) dan Pembeli adalah pihak yang beretiked baik sehingga haruslah dilindungi oleh hukum. Walaupun seringkali asset yang dilelang tersebut pasti jauh dari harga pasar, yang mempermasalahkan (merasa dirugikan) tentunya akan mengeluarkan dalil dengan mengatas namakan asas keadilan.

Seperti halnya contoh kasus yang penulis sampaikan dalam kesempatan ini yang mungkin bermanfaat bagi para pembaca, yaitu Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga No: Perkara 01/Pdt.G/2013/ PN.Pbg tertanggal 20 Juni 2013 jo Putusan Pengadilan Tinggi Semarang 482/Pdt/ 2023 PT Smg tertanggal 30 Desember 2013 jo Putusan Mahkamah Agung No: 1426/Pdt/2014 tertanggal 19 Desember 2014.

Pada intinya dalam perkara tersebut ada sengketa a/n Muslimin (Penggugat) melawan Bank Danamon, Tbk (BDI/ sebagai Tergugat I) dan KPKNL Purwakarta (sebagai Tergugat III), a/n Nur Sokhimah (Pemenang Lelang/ sebagai Tergugat IV) yang mana Penggugat mendalilkan jika asset yang dijaminkan kepada BDI telah dilelang dan terjual jauh dengan harga pasar. Pada saat pengajuan kredit sebesar Rp 130.000.000,- Penggugat sudah mengangsur sejumlah Rp 72.556.447,- dan Penggugat juga mendalilkan dalam gugatannya jika nilai jaminannya adalah sebesar Rp 423.571.000,- (perhitungan berdasarkan nilai yang tertera di NJOP Rp 130.000/m²). Ironisnya angsuran yang telah dibayarkan sejumlah Rp 72.556.447,- tidak dihitungkan untuk bagian dari pelunasan atas kreditnya kepada Bank Danamon. Didalam salah satu petitumnya Penggugat memohon Majelis Hakim untuk mengabulkan tentang Pembatalan Lelang asset jaminan yang dilakukan oleh KPKNL Purwokerto atas permintaan dari Bank Danamon yang pada saat itu sudah laku terjual kepada pihak lain.

Pada perjalanan perkara ini, pada tingkat pertama dan tingkat tinggi (banding) dimenangkan oleh pihak Muslimin (Penggugat), kemudian Bank Danamon mengajukan Kasasi dalam putusannya membatalkan putusan Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi dan mengadili sendiri perkara a quo dan memenangkan Para Tergugat.

Para Hakim Agung yang memeriksa mengadili dan memutus perkara tersebut menilai jika Para Hakim PN Purbalingga dan Para Hakim PT Semarang dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara a quo telah lalai dalam menerapkan system hukum acara perdata, terlebih khusus lagi putusan tersebut dianggap tidak berkeadilan dan menjadikan ketidak pastian hukum dimasa-masa yang akan datang (Menjadi yurisprudensi/ rujukan hukum dalam sengketa perbankan). Para Hakim Agung-pun menyatakan dalam memutuskan suatu perkara selain harus memuat dasar hukum yang lengkap, tidak bertentangan dengan pasal-pasal lainnya juga harus memberikan pengetahuan (pencerahan hukum) bagi para pencari keadilan lainnya, sehingga setiap putusan yang telah diputuskan tidak menjadi bahan bacaan saja dan menjadi dokumen yang tidak ada gunanya.

Bagaimana cara membatalkan lelang (jika dianggap tidak berkeadilan bagi Para Konsumen)

1. Melibatkan Team Penilai Harga (Apresial)
Dalam Peraturan Menteri Keuangan 106/PMK.06/2013 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, Pasal 36 yang
berbunyi sebagai berikut Ayat (1) Penjual/Pemilik Barang dalam menetapkan Nilai Limit, berdasarkan: a. penilaian oleh penilai; atau b. penaksiran oleh penaksir/tim penaksir; Ayat (2) Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan pihak yang melakukan penilaian secara independen berdasarkan kompetensi yang dimilikinya; Ayat (3) Penaksir/tim penaksir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pihak yang berasal dari instansi atau perusahaan Penjual, yang melakukan penaksiran berdasarkan metode yang bisa dipertanggung jawabkan, termasuk kurator untuk benda seni dan benda antik/kuno; Ayat (4) Dst…; Artinya pihak Bank, tidak boleh asal hutang padanya lunas tanpa memikirkan berapa sisa hutangnya, berapa selisih dari penjualannya dan pertimbangan lainnya yang sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku.

2. Etikad baik dari konsumen/ Debitur/ Nasabah
Alangkah baiknya jika dalam proses pelelangan Konsumen juga ikut menawar, karena pada umumnya Bank yang melelang jaminan padanya pastinya sudah melakukan upaya-upaya seperti mengingatkan secara lisan maupun tertulis (somasi), dan hanya menginginkan uangnya kembali ditambah biaya-biaya yang timbul akibat diajukannya lelang tersebut. Denda maupun bunga (selama masa kredit macet, tentunya sudah dihapuskan). Ingat setiap anggunan kredit akan selalu dibebani Hak Tanggungan sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, dinyatakan dengan tegas bahwa “Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”; jo Pasal 20 jo Pasal 14 yang menyatakan Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang artinya tidak memerlukan putusan pengadilan untuk melakukan upaya paksa berupa parate eksekusi.

3. Meminta penundaan pembayaran hutang-hutangnya (surseance van betaling)
Pihak Bank tentunya akan mempertimbangkan jika konsumennya memang benar-benar kesulitan dalam menyelesaikan kewajibannya termasuk mengajukan rescheduling dengan memperpanjang tenornya. Hal ini adalah salah satu upaya pihak konsumen yang merasa hak-haknya terancam hilang dikemudian hari. Dengan mengajukan permohonan dengan dilengkapi skema-skema pembayaran yang baru akan mengakibatkan bisa membatalkan proses lelang yang sedang diajukan (kecuali terlambat sampai obyeknya laku terjual). Hal ini juga akan memperingan beban dari konsumen/ nasabah bank tersebut.

Asisten LBH (for Redaksi)
Chyndia Roma SH, Sekretaris pribadi Kantor Firma Hukum H Rif’an Hanum & nawacita. (chyndia Rima for Redaksi)

Secara Umum Pihak Bank akan Mendalilkan
1. Pasal 1131 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerd) menetapkan sebagai berikut: “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.

2. Selanjutnya Pasal 1132 KUHPerd menentukan sebagai berikut di bawah ini: “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”.

3. Pasal 1320 jo 1338 KUHPerd Pasal 1320 ayat (1) menyatakan sebagian salah satu syarat sahnya suatu perjanjian diperlukan adanya “sepakat mereka yang mengikatkan dirinya”. Pasal 1338 ayat (1) menentukan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya”.
Berdasar dua pasal dalam KUH Perdata tersebut, dapatlah dikatakan berlakunya asas konsensualisme di dalam hukum perjanjian memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa “sepakat” dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat tidak sah, sehingga dapat dibatalkan. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan paksa disebut Contradictio interminis, adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat.

Adanya konsensus dari para pihak, maka menimbulkan kekuatan mengikat perjanjian sebagaimana undang-undang (pacta sunt servanda). Asas pacta sunt servanda menjadi kekuatan mengikatnya perjanjian. Ini bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga kewajiban hukum yang pelaksanaannya wajib ditaati, konsekuensinya hakim maupun pihak ketiga tidak boleh mencampuri isi perjanjian yang dibuat para pihak tersebut.

4. Dalam KUHPerdata, utang piutang dapat dilakukan dengan perjanjian pinjam meminjam. Pasal 1754 KUHPerdata menyebutkan bahwa pinjam meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.
Konsep utang piutang masuk ke dalam konsep yang diatur oleh Hukum Perdata, hubungan tersebut terjadi karena hal berikut:

1. Perjanjian antara pihak yang satu dengan yang lain. Misalnya dalam jual-beli, sewa menyewa, utang piutang, tukar menukar, dan pemberian kuasa.

2. Ketentuan undang-undang yang bermanfaat atau saling menguntungkan bagi pihak-pihak. Misalnya, perwakilan sukarela, pembayaran tanpa utang, perbuatan menurut hukum, dan pewarisan.

3. Ketentuan undang-undang yang merugikan orang lain. Misalnya perbuatan melawan hukum.

Dalam praktiknya seseorang dapat dikatakan wanprestasi (ingkar janji) dalam membayar utang sesuai Pasal 1234 KUHPerdata adalah sebagai berikut:

1. Utang tidak dibayar sama sekali, artinya pihak yang berhutang (debitur) benar-benar tidak melaksanakan kewajibannya membayar utang.

2. Membayar utang namun tidak dilunasi sepenuhnya. Artinya pihak yang berhutang (debitur) membayar utangnya namun tidak tepat waktu.

3. Melaksanakan perbuatan yang dilarang dalam perjanjian. Artinya, bila dalam perjanjian/kontrak yang dibuat terdapat larangan yang mengharuskan para pihak tidak melakukan suatu perbuatan, namun ternyata dalam prakteknya terdapat salah satu pihak melaksanakan larangan tersebut, maka pihak yang melaksanakan larangan tersebut dapat dinyatakan telah melakukan wanprestasi.

Demikian tulisan ini disarikan dari beberapa sumber khususnya dari Putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (Incracht) dan beberapa aturan di KUHPerd maupun Peraturan Menteri Keuangan, semoga bermanfaat bagi para pembaca. (*)

*Penulis adalah Chyndia Roma, S.H. Sekretaris Pribadi di Kantor Firma Hukum H Rif’an Hanum & Nawacita, lulusan FH Universitas Jember

Responsive Images

Tinggalkan komentar