IMM Toyota - Mojokerto
Kitoshindo
Birth Beyond

Kasus MK dan Nepotisme Akut, Ini 4 Skenario Pemakzulan Presiden Jokowi

Presiden Jokowi dalam bayang-bayang pemakzulan. (Instagram @jokowi)
Presiden Jokowi dalam bayang-bayang pemakzulan. (Instagram @jokowi)

Jakarta, Kabarterdepan.com – Karut-marut situasi politik nasional saat ini yang disebut mencederai demokrasi dapat menjadi pemicu pemakzulan atau pemberhentian presiden RI Joko Widodo (Jokowi). Hal itu disampaikan oleh pengamat politik Eep Saefulloh Fatah dalam kanal YouTube Abraham Samad Speak up yang diunggah Kamis (26/10/2023).

Dilansir kabarterdepan.com dari kanal YouTube milik Abraham Samad Mantan Ketua KPK tersebut, Eep Saifullah mengibaratkan bangsa Indonesia saat ini seperti kapal yang hendak tenggelam.

Responsive Images

“Kita bukanlah turis yang sedang ada di pantai, berjemur di bawah matahari lalu menonton kapal itu tenggelam. Posisi kita ada di dalam kapal itu. Kita harus sama-sama menyelamatkan kapal itu karena kalau tidak kita tenggelam, dan presiden punya peranan yang sangat besar untuk membuat lubang atau menambal kebocoran di kapal itu, nah inilah yang terjadi (saat ini),” ujarnya.

Dijelaskannya, Indonesia itu sistemnya unik, yakni menganut sistem presidensial tetapi dengan parlemen yang kuat, yang diisi berbagai parpol yang kuat.

“Kita bisa tengok kasus pemakzulan di negara di Amerika Latin. Ternyata ada 4 faktor yang paling penting,” Jelasnya.

Faktor pertama, yakni jika terbukti ada skandal yang terverifikasi pada hukum dan politik menyangkut langsung dengan presiden. Kalau terbukti ada penyelewengan kekuasaan yang bisa dibuktikan yang membuat presiden Jokowi harus berhati-hati adalah kasus di Mahkamah Konstitusi (MK), dan kasus pencawapresan Gibran Rakabuming dan dan seterusnya.

“Bisa kita diskusikan,
Ketika presiden menggunakan kekuasaannya hingga menciptakan situasi seperti sekarang yang ditandai dengan nepotisme yang sangat akut,” terangnya.

Faktor yang kedua, imbuhnya, yakni kegagalan kebijakan yang dirasakan secara nyata. Selama ini survei meninabobokan publik dengan mengatakan kepuasan terhadap Jokowi di atas 70 persen. Sampai ada tokoh partai yang mengusulkan agar Gibran Rakabuming ditambahkan nama Jokowi di belakangnya supaya orang yang puas dengan Jokowi nantinya memilih Prabowo-Girban.

“Jadi dugaan saya kegagalan kebijakan yang nyata juga bisa tersedia saat ini,” kata Eep.

Yang ketiga, yakni resistensi parlemen yang melembaga dan kuat, dan kemudian meluas dan tersokong oleh gerakan luar lainnya. Ini tidak tergantung pada presiden.

Lanjut Eep, ada peristiwa berbeda ketika Jokowi membentuk kabinet (di periode) yang pertama dan kedua. Kabinet yang pertama calon Menteri sampai harus dinilai dulu oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Waktu itu mas Abraham di sana (di KPK). Jadi tahu persis waktu itu dicitrakan begitu rupa bahwa kabinet yang pertama dibentuk dan menimbang betul soal bersihnya calon-calon menteri. Apa yang terjadi di kabinet yang kedua, saya melihat kecenderungan presiden adalah senang menginjak kaki seseorang untuk mengendalikan orang itu secara politik. Jadi semakin kotor anggota kabinet itu semakin baik karena semakin bisa dikendalikan. Sepertinya (presiden senang), kalau nanti saya salah, nanti kita lihat jawaban dari presiden. Ini kan negara demokrasi,” paparnya.

Eep yang juga konsultan politik juga menjelaskan bahwa Presiden Jokowi sengaja menciptakan sandera politik.

“Jadi ada sitem sandera yang diciptakan, itu terbalik dengan kecenderungan termin pertama. Menurut saya, ini bisa jadi sesuatu yang terlihat baik-baik saja tapi keropos di dalam,” Imbuhnya.

Eep menyebut kemungkinan kalau Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarno Putri dan PDI Perjuangan punya ketidakpuasan dan kemarahan yang masih terpendam dan belum terlihat. Dengan teman koalisi PPP dan koalisi perubahan yang jelas di luar Jokowi sekalipun disitu ada nasdem dan PKB.

“Dua kubu ini menjadi mayoritas sekalipun bukan mayoritas mutlak di parlemen,” terangnya.

Faktor ke empat, yakni keresahan publik yang meluas. Barangkali orang mengatakan belum terlihat meluas, tapi menurut Eep, jangan lupa bahwa sebetulnya kemarahan itu banyak dan terpendam.

“Ada Silent Majority yang sering kali kita lupakan. Dalam beberapa kasus bisa menjadi perubahan yang dahsyat. Kasus negara lain, apa yang menyebabkan Donald Trump di Amerika kalah dengan Joe Biden. Menurutnya Bukan Joe Biden yang sebegitu hebat, tapi ada Silent Majority yang mengatakan cukup untuk Donald Trump.

“Kalau orang NU kira-kira fikih mewajibkan saya untuk memihak kali ini, tidak bisa lagi saya netral,” ucapnya.

Empat faktor tersebut bagi Eep bukan tidak mungkin tersedia saat ini. Kritik itu ia sampaikan karena menjalankan fungsi dan kewajibannya sebagai warga negara yang diatur konstitusi.

“Saya tidak ingin negara kita rusak, saya tidak ingin demokrasi saya sakit parah. Saya tidak ingin presiden saya dipermalukan. Lha, kalau ternyata presidennya melakukan sesuatu yang membuat dia mempermalukan diri sendiri saya tidak punya kuasa. Maka kekuasaan kita adalah berbicara seperti ini,” tandanya.

Eep mengingatkan Presiden Jokowi bahwa dulu Jokowi tumbuh dari satu akar yang sangat kuat, yaitu populisme yang dibiarkan berkembang oleh demokrasi. Tetapi akar itu sekarang keropos dan masyarakat merasa rasa keadilan tercederai dan dikhianati.

“Sebagai pohon sebesar apapun ketika akarnya keropos (maka) tumbang. Dan jangan salahkan orang lain kalau itu terjadi. Karena anda (Jokowi) mengabaikan akar itu,” katanya.

Eep menilai, bagi Indonesia barang kali tahun ini sampai tahun depan itu disebut sebagai tahun-tahun memilih yang berbahaya, karena kalau salah maka pilih bahaya. Tapi bagi Presiden Jokowi sebetulnya ini tahun-tahun atau bahkan bulan-bulan dimana dia harus memimpin dengan berbahaya, karena salah langkah bahaya.

“Ini serius situasinya menurut saya,” pungkas Eep. (*)

Responsive Images

Tinggalkan komentar