IMM Toyota - Mojokerto
Kitoshindo
Birth Beyond

Ngaku Sakit, Oknum Protokol Pemkot Mojokerto Tak Hadiri Panggilan Polisi

Avatar of Andy Yuwono
Satreskrim Polres Mojokerto Kota (Dok. Kabarterdepan.com)
Satreskrim Polres Mojokerto Kota (Dok. Kabarterdepan.com)

Kota Mojokerto, Kabarterdepan.com – Oknum Protokol dan Komunikasi Pimpinan Kota Mojokerto, YH (41) yang diduga mencabuli teman sekolah anaknya tidak menghadiri panggilan Satreskrim Polres Mojokerto.

Penasihat Hukum Korban, Hendra Jaya Pradipta mengatakan, terlapor YH tidak menghadiri pemanggilan Satreskrim Polres Mojokerto sebanyak 2 kali karena sakit.

Responsive Images

“Pemanggilan pertama dilakukan Jumat (12/1/2024) lalu dan Rabu (17/1/2024) kemarin,” tuturnya kepada Kabarterdepan.com.

Sementara itu, Kasat Reskrim Polres Mojokerto Kota, AKP Achmad Rudi Zaeny mengatakan, terakhir kemarin YH kondisinya sakit.

“YH belum ditetapkan sebagai tersangka karena ada tahapan yang harus kita lalui terlebih dahulu,” pungkasnya.

Sebelumnya diberitakan, Kejaksaan Negeri Kota Mojokerto menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dugaan pencabulan anak di bawah umur oleh oknum Protokol dan Komunikasi Pimpinan Kota Mojokerto, YH (41).

Ketika dikonfirmasi, Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari)Kota Mojokerto melalui Kasi Intel, Joko Sutrisno membenarkan, pihaknya sudah menerima SPDP dugaaan kasus pencabulan anak di bawah umur oleh oknum protokol berinisial YH.

“Ya, kami sudah terima SPDP-nya. Kalau nggak salah, SPDP itu terbit tanggal 22 Desember 2023 dan kami terima 28 Desember 2023. Sambil menunggu penyidikan berjalan. Kita lihat apakah berkas ini sudah lengkap dari tahap I, tetap indikasinya sudah ke sana (penetapan tersangka),” ungkap Joko Sutrisno kepada Kabarterdepan.com.

Lebih lanjut, Joko menuturkan, sesuai dengan SPDP, akan diterapkan Pasal 82 Perpu 1/2016 juncto Pasal 76E UU 35/2014 dan Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 adanya perubahan atas undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar.

“Sehingga, sejauh ini dari kami tidak ada restorative justice karena ancaman hukumannya di atas 5 tahun, bahkan paling lama 15 tahun. Terkait penahanan, kami masih menunggu tahap I, nanti kita lihat. Ini masih domainnya pihak kepolisian,” beber Joko. (*)

Responsive Images

Tinggalkan komentar