IMM Toyota - Mojokerto
Kitoshindo
Birth Beyond

Catat Maraknya Kasus Kekerasan, AJI Deklarasikan Komite Advokasi Jurnalis Jawa Timur

WhatsApp Image 2024 02 16 at 8.38.50 AM
Deklarasi Komite Advokasi Jurnalis (Dok. AJI)

Nasional, Kabarterdepan.com – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat, kasus kekerasan dan kriminalisasi terhadap jurnalis pada 2023 ada 89 kasus atau naik dari 61 kasus pada 2022.

“Negara harus melindungi jurnalis, bukan sebaliknya. Namun realitanya, jurnalis banyak dijerat menggunakan UU ITE, yang artinya kerja-kerja untuk kepentingan publik disandera. Kerjasama dalam bentuk KAJ ini adalah langkah antisipatif terhadap potensi pelanggaran pada kerja-kerja jurnalis. Pers yang merdeka adalah kemerdekaan rakyat,” ungkap Ketua AJI Malang Benni Indo.

Responsive Images

Dari sumber data yang sama, sejak 2006 sampai awal tahun 2024, total ada 1.047 kasus kekerasan yang terjadi. Jawa Timur sendiri menjadi provinsi dengan angka kasus tertinggi. Hampir 10 persen dari jumlah keseluruhan, yakni 98 kasus.

Sampai awal Februari 2024, sudah 9 kasus yang dilaporkan. Tahun politik terutama pemilu menambah ekskalasi kekerasan. Seperti kita ketahui, sejumlah elit politik bahkan dalam pidatonya di hadapan ribuan orang, terang-terangan mengintimidasi jurnalis. Aparat negara yang diharapkan melindungi kerja-kerja jurnalis, malah seringkali menjadi pelaku utama dan musuh kebebesan pers. Ancaman lain adalah jerat Undang-undang ITE.

Salah satu kasus yang menarik perhatian publik adalah kekerasan yang dialami jurnalis Tempo, Nurhadi saat menjalankan tugas jurnalitisknya pada Sabtu, 27 Maret 2021 di Surabaya. Nurhadi disekap dan dikeroyok sejumlah orang termasuk 2 polisi aktif. Kasus ini tuntas dan incracht setelah 2,5 tahun berjalan. Saat itu, Nurhadi dan AJI Surabaya, didampingi tim advokasi dari LBH Lentera, Federasi Kontras Surabaya dan LBH Pers.

Dari advokasi Nurhadi inilah, tim pendamping hukum menilai, semangat advokasi harus dijaga dan dipelihara karena kasus serupa bukan mustahil kembali terjadi di Jawa Timur.

“Perluasan aliansi sangat perlu dilakukan untuk membangun sistem dan jaringan kerja advokasi saat jurnalis mengalami kekerasan dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik. Sudah waktunya kota-kota lain melakukan perapian pola advokasi dengan lebih terorganisir dan tuntas sesuai semangat kemerdekaan pers,” kata Koordinator LBH Lentera Salawati Taher.

Belajar dari advokasi yang ditangani selama ini, dibutuhkan satu prespektif yang sama dalam merespon kekerasan terhadap jurnalis. Pertama, bahwa kekerasan apapun bentuknya, termasuk kriminalisasi dan sensor, mengancam hak publik untuk tahu atas informasi.

Kedua, advokasi harus melibatkan semua unsur termasuk masyarakat, organisasi profesi dan perusahaan pers. Ketiga, advokasi harus dilakukan sampai tuntas demi pemenuhan hak-hak korban. Keempat, akses pendampingan terhadap jurnalis harus diperluas jangkauannya. Termasuk kepada jurnalis dari berbagai organisasi profesi. Bahkan harus pula menjangkau pers mahasiswa dan jurnalis warga yang selama ini juga rentan menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi.

Dengan semangat ini, pihak-pihak yang terlibat dalam advokasi kasus Nurhadi, mendeklarasikan Komite Advokasi Jurnalis (KAJ) Jawa Timur.

“Keberadaan KAJ penting untuk memastikan kerja-kerja advokasi terhadap pelaku pers yang mengalami kekerasan, menjadi semakin rapi dan terorganisir. Sebab salah satu kunci keberhasilan kerja-kerja jurnalis adalah kolaborasi. Dengan KAJ, jurnalis korban kekerasan bisa mendapatkan penanganan dan perlindungan yang cepat dan terencana,” kata Ketua AJI Surabaya Eben Haezer Panca.

Sementara itu, Ketua AJI Kediri Danu Sukendro mengatakan, pembentukan komite advokasi jurnalis ini merupakan hal yang kami pandang sangat penting untuk perlindungan kerja jurnalis di daerah.

“Sebab, AJI kota yang lokasinya jauh dari ibu kota provinsi, sulit mendapatkan akses pendampingan hukum yang cepat dan tepat. KAJ juga menjadi wadah edukasi peningkatan kapasitas jurnalis dalam hal advokasi dan pengetahuan hukum pers,” imbuh Danu.

“Kami berharap KAJ menjadi jawaban atas ketidakpastian advokasi, saat terjadi kekerasan terhadap jurnalis di Jawa Timur, khususnya Bojonegoro,” kata Ketua AJI Bojonegoro Deddy Mahdi Assalafy.

Deddy Mahdi Assalafy menambahkan, pihaknya memandang advokasi sebagai tindakan untuk melindungi dan menjamin kerja-kerja jurnalis sekaligus pula hak publik untuk tahu atas informasi.

“Kerja-kerja kolaborasi antara semua pihak yang peduli dengan kemerdekaan pers dan perlindungan jurnalis, harus disegerakan,” imbuhnya.

Deklarasi ini ditandai dengan penandatanganan kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) di Surabaya. Kesepakatan ini ditandatangani bersama oleh Ketua AJI Surabaya, AJI Malang, AJI Bojonegoro, AJI Kediri, AJI Jember, LBH Lentera dan Federasi Kontras Surabaya.

Koordinator Federasi Kontras Surabaya Fatkul Khoir berharap, kesepahaman (MoU) KAJ ini bisa menjadi awal yang baik memperkuat kapasitas dan pendampingan hukum bagi para pekerja jurnalis.

“Saya pun berharap di masa pilpres ini tidak ada peristiwa kekerasan yang dialami para pekerja pers dalam menjalankan tugas-tugasnya,” kata Fatkul.

Di sisi lain, Advokat Partner LBH Lentera Johanes Dipa mengatakan, advokasi atau pendampingan hukum adalah hak bagi jurnalis yang mengalami kekerasan atau kriminalisasi saat menjalankan kerja jurnalistiknya.

“Maka sudah seharusnya kami harus turut serta dalam memberikan akses pendampingan hukum. Saya mengajak perusahaan pers untuk ikut serta terlibat dalam kerja-kerja advokasi, jangan malah menggembosi,” ujarnya.

Sedangkan Ketua AJI Jember Iraa Rachmawati mengatakan, pembentukan KAJ ini sangat penting karena AJI Jember yang berada di wilayah tapal kuda yakni Situbondo, Banyuwangi, Jember, Bondowoso serta Lumajang adalah daerah rawan konflik, terutama agraria.

“Kondisi ini tentu berdampak pada keselamatan jurnalis. Ini sekaligus menjadi angin segar bagi media massa yang tumbuh di daerah yang rentan mengalami intimidasi,” pungkasnya. (*)

Responsive Images

Tinggalkan komentar