IMM Toyota - Mojokerto
Kitoshindo
Birth Beyond

Kontroversi Film Dirty Vote, Sebuah Desain Kecurangan Pemilu 2024

Film dokumenter Dirty Vote. (Tangkapan layar YouTube Dirty Vote)
Film dokumenter Dirty Vote. (Tangkapan layar YouTube Dirty Vote)

Jakarta, kabarterdepan.com – Film Dirty Vote menjadi kontroversi. Sebuah film dokumenter yang menguak tentang grand desain kecurangan Pemilu 2024 ini dibintangi oleh 3 akademisi.

Ketiga orang tersebut yakni Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari. Ketiga pakar Hukum Tata Negara tersebut menjelaskan bagaimana Pemilu 2024 diduga sarat dengan penyalahgunaan kekeuasaan yang tidak hanya melibatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saja, namun para menteri, kepala daerah termasuk penjabat (Pj), hingga tingkat kepala desa.

Responsive Images

Film Dirty Vote ini tayang perdana dilansir di kanal YouTube Dirty Vote, Minggu (11/2/2024) atau hari pertama masa tenang kampanye Pemilu 2024.

Zainal Arifin Mochtar membuka film dengan ucapan yang menohok. Ia meminta siapapun yang menonton film tersebut untuk menjadikan Dirty Vote sebagai landasan melakukan penghukuman.

“Jika anda nonton film ini, saya punya pesan sederhana. Satu, tolong jadikan film ini sebagai landasan untuk anda melakukan penghukuman. Film ini adalah monument, tagihan, monumen yang akan kita ingat bahwa kita punya peranan besar orang besar bernama Jokowi,” ujarnya yang dikutip dari YouTube Dirty Vote, Minggu (11/2/2024).

Di awal film terdapat cuplikan komentar presiden Jokowi yang diambil dari potongan video wawancara di beberapa TV swasta nasional. Jokowi menyebut kedua anaknya, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep belum punya insting untuk terjun ke politik. Keduanya masih enjoy dalam bisnis masing-masing.

“100 persen di dunia usaha, politiknya belum. Kaesang apalagi, masing senang-senangnya buka sini. Sini, yang saya lihat feeling politik yang sudah masuk itu Bobby (menantu Jokowi),” ujar Jokowi di Film tersebut.

Zainal Arifin Mochtar dalam film Dirty Vote. (Tangkapan layar YouTube Dirty Vote)
Zainal Arifin Mochtar dalam film Dirty Vote. (Tangkapan layar YouTube Dirty Vote)

Kemudian alur film dokumenter itu mengulas bagaimana detik-detik hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Khususnya Anwar Usman yang saat itu menjadi Ketua MK, meloloskan Gibran untuk maju sebagai cawapres dengan mengubah bunyi putusan MK yang tidak sesuai dengan pemohon.

Di film ini, Zainal Arifin Mochtar menyoroti dugaan penyalahgunaan wewenang oleh kepala desa. Desa menjadi wilayah pertarungan untuk memperebutkan suara.
Ia lantas mengatakan ada sejumlah wewenang kepala desa yang bisa disalahgunakan. Meliputi data pemilih, penggunaan dana desa, data penerima bantuan sosial (bansos), Program Keluarga Harapan (PKH), dan bantuan langsung tunai atau BLT, serta wewenang alokasi Bansos.

“Kasus penyelewenangan dana desa sangat mungkin dikonversi menjadi alat tukar dukungan politik,” kata Zainal.

Zainal menjelaskan, ada dugaan barter politik dari sejumlah kepala desa yang terindikasi melakukan tidak pidana korupsi anggaran pendapatan, belanja desa (APBDes). Kepala desa tersebut ditekan untuk memberikan dukungan kepada 02 dan sebagai imbalan maka polisi tidak melanjutkan proses hukum kepala desa tersebut.

Di lanjutan film itu ada testimoni rekaman suara seorang kepala desa yang disamarkan. Kepala desa itu bersaksi bahwa ada tekanan dari kubu pasangan Capres-Cawapres nomor urut 02, Prabowo-Gibran, dan 03, Ganjar Pranowo-Mahfud Md.

Kepada desa itu ditekan dari kubu 02 berupa arahan untuk membentuk teknis penyaluran bantuan beras secara tiba-tiba dengan data yang tidak sesuai dengan data milik desa.

“Kami, kepala desa di paguyuban bingung. Kami yang repot sendiri karena itu tidak sesuai data kebutuhan di desa,” katanya.

Kepala desa itu juga mendapat tekanan dari polisi karena merasa diawasi oleh Polda. Kepala desa juga diminta menyiapkan laporan penggunaan dana desa dari tahun 2021 hingga 2023.

Sedangkan tekanan dari kubu Capres-Cawapres nomor urut 03 Ganjar Pranowo-Mahfd MD berupa arahan langsung dari bupati untuk memenangkan Capres-Cawapres nomor urut 3. Tidak main-main, ditarget mendapat suara minimal 50 persen plus 1 untuk kemenangan 03 di satu desa.

“Itu melalui camat. Camat menghubungi paguyuban kepala desa,” ujarnya.

Sementara itu Feri Amsari di film itu menguak bagaimana desain kecurangan Pemilu 2024 dengan menempatkan para Penjabat (Pj) Gubernur maupun Bupati dan Wali Kota yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Sejumlah Pj yang ditunjuk oleh Kementerian Dalam Negeri disebut mempunyai kecenderungan dekat dengan Presiden Jokowi.

Ia mencotohkan di Papua. Papua memiliki 4 provinsi baru dan langsung ikut pada pilpres 2024. Berbeda dengan Kalimantan Utara, yang meski didirikan tahun 2023 tapi mereka tidak bisa ikut serta merta pada Pemilu 2024. Mereka harus menunggu 6 tahun untuk bisa ikut Pemilu 2029.

“Cukup Panjang bagi Kalimantan Utara untuk ikut pemilu,” ujar Feri.

Dipaparkannya, jika disimak hasil pilpres 2014 dan 2019, Jokowi betu-betul unggul di Papua, tak pernah kalah satu kali pun. Ketika itu saat Jokowi menang Pilpres di papua, Jenderal Tito Karnavian kebetulan menjadi Kapolda Papua.

“Lalu pada pemilu saat ini kebetulan sekali kalau Jenderal Tito juga merupakan Menteri dalam negerinya,” ujat Feri Amsari.

Dijelaskan Feri lebih lanjut, semenjak tahun 2021 Presiden Jokowi menunjuk 20 penjabat gubernur di 20 provinsi. Presiden berwenang menunjuk Pj Gubernur sekaligus memberi pengaruh yang luar biasa dalam penunjukan bupati/wali kota. Kewenangannya di kemendagri yang kemudian mendapat restu dari presiden.

“Peran Pak Tito sebagai Mendagri dan restu dari presiden dalam penunjukan penjabat kepala daerah, pada dasarnya mereka tidak mematuhi putusan MK. MK menentukan bahwa proses penujukan penjabat haruslah dilakukan secara terbuka, transparan, mereka harus mendengar aspirasi pemerintah daerah dan masyarakat daerah. Sekaligus taat pembentukan peraturan teknis agar penunjukan fair,” jelas Feri.

“Karena itu Komisi Informasi Pusat dan Ombudsman RI menyatakan bahwa penunjukan penjabat itu telah melakukan mala administrasi,” tegasnya.

IMG 20240212 090457

Kemudian giliran Bivitri Susanti menguak dugaan penyalahgunaan bantuan sosial. Menurutnya, penyaluran bansos oleh Jokowi meroket menjelang pemilu. bahkan melebihi anggaran bansos saat pandemi Covid-19.

“Baru Januari, kita sudah menghabiskan Rp 78,06 triliun. Di sini kita bisa melihat bagaimana kemudian bansos digunakan berlebihan dan melebihi apa yang dilakukan saat pandem Covid-19,” kata Bivitri.

Selain soal anggaran Bansos, Bivitri juga menyoroti seharusnya penyaluran bansos bukan dilakukan oleh presiden. Bivitri berujar, bansos merupakan fasilitas negara yang harus disalurkan sesuai struktur kenegaraan.

“Siapa yang berhak atau berwenang? Kementerian Sosial jawabannya,” kata Bivitri. Namun yang terjadi, data kemiskinan Kementerian Sosial justru tidak digunakan.

Dalam kalimat penutupnya, Bivitri menyebut desain kecurangan itu juga banyak dilakukan oleh rezim di negara lainnya. Untuk menjadi seperti itu, menurut Bivitri tidak memerluka kepintaran atau kecerdasan.

“Karena itu, untuk menyusun dan menjalankan skenario kotor seperti ini, tak perlu kepintaran atau kecerdasan. Yang diperlukan cuma dua, yakni mental culas dan tahan malu,” pungkasnya. (*)

Responsive Images

Tinggalkan komentar