IMM Toyota - Mojokerto
Kitoshindo
Birth Beyond

Kontroversi Penangkaran Harimau Milik Alshad Ahmad, Pemerhati Satwa Desak Pemeriksaan Menyeluruh

Penangkaran Harimau
Dr Budi Riyanto SH MSi APU berbicara tentang pemeriksaan menyeluruh terhadap izin penangkaran satwa oleh perseorangan (Dok.istimewa)

Jakarta, KabarTerdepan.com – Kematian 7 ekor anak harimau Benggala di penangkaran harimau milik Alshad Ahmad menyita banyak perhatian publik. Tidak sedikit yang meminta meninjau ulang izin penangkaran harimau maupun satwa liar yang dipegang oleh perseorangan.

Usulan tersebut salah satunya diungkapkan pemerhati satwa, Dr drs Budi Riyanto SH Msi APU, Ahli Perancang Utama dan Inspektur pada Inspektorat Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) RI. Ia mengajak berbagai pihak untuk memahami filosofi dari kebijakan penangkaran.

Responsive Images

Yang pertama, baik pemberi izin penangkaran maupun pemegang izin penangkaran untuk memahami aturan undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan ekosistemnya, serta pelaksanaan Peraturan Pemeritah nomor 7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, dan Peraturan Pemeritah nomor 8 tahun 1999 tentang pemanfatan jenis tumbuhan dan satwa liar.

Filosofi kedua adalah pada hakekatnya tidak boleh adanya pencemaran genetika, sehingga betul-betul mengggunakan istilah penangkaran, bukan budidaya sehingga kemurnian jenis itu tetap dipertahankan.

“Makanya kalau ada yang mengawinkan Lion Tiger itu sebetulnya sudah melawan hukum jangan didiamkan saja. Sudah menyalahi itu,” ujarnya, Minggu (30/7/2023).

Filosofi ketiga yang diungkap Budi Riyanto adalah Indonesia harus tunduk pada aturan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (Cites). Cites ini merupakan perjanjian intenasional anta negara yang bertujuan untuk melindungi tumbunan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional.

Jika tunduk kepada Cites maka otomatis ada pemilahan tiga kategori Apendiks I, II atau III. Apabila satwa itu didatangkan dari luar negeri, maka dilihat apakah satwa itu masuk kategori Apendiks I, II, atau III.

“Katanya satwa (Harimau Benggala) ini masuk dalam kategori II. Jadi ia dilindungi statusnya tapi bisa dimanfaatkan dengan kuota, secara species dia dilindungi, secara individual dapat dimanfaatkan,” urainya.

Prinsip-prinsip dalam penangkaran itu hendaknya dipatuhi oleh untuk semua insan. Ia tidak membenarkan penangkaran hanya dijadikan ajang pamer. Sebab harus memperhatikan kesejahteraan satwa atau Animal Welfare.

Mengenai Izin Penangkaran Harimau

Terkait dengan izin penangkaran harimau, imbuh Budi Riyanto, maka badan hukum ataupun perorangan yang diberikan izin itu ada hak dan kewajiban.

Kewajiban-kewajiban dalam rangkan animal welfare adalah bagaimana kesejahteraan satwa diperhatikan, termasuk kandang satwanya, pakannya, hingga ahli satwanya (dokternya).

“Apakah itu sudah menjadi perhatian dari pemerintah atau pejabat yang memberikan izin itu. Apakah betul-betul sesuai dengan izin penangkaran itu?,” ungkapnya.

Pemberian izin penangkaran oleh Kemeterian LHK melalui Balai Besar Konservasi Sumber Daya alam (BBKSDA) penting dengan mempertimbangkan undang-undang nomor 5 tahun 1990 yang menekankan menghambat semaksimal mungkin hadirnya satwa liar dari luar negeri.

“Hanya kepentingan kemurnian genetika saja, tapi kalau hanya untuk main-main itu sudah tidak benar,” tegas Budi.

Dalam mendatangkan satwa dari luar negeri, banyak aspek yang harus dicermati. Termasuk kemungkinan satwa itu membawa virus atau bakteri dari cakar maupun giginya, serta apakah nantinya menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan di dalam pelestarian satwa yang lain.

“Ini yang perlu diwaspadai, jangan ngetren untuk kebutuhan-kebutuhan mellenial yang akhirnya kesejahteraan satwa, baik yang didatangkan maupun yang akibat dari penyebaran virus bisa membahayakan kehidupan ekosistem kita,” terangnya.

Jika mengacu pada kasus matinya 7 anak Harimau Benggala milik Alshad Ahmad, Budi Riyanto menekankan kejelasan status dari beberapa pihak, baik pemerintah maupun pemegang izin penangkaran harus diperiksa.

“Kalau seseorang diberikan izin penangkaran harimau, dimana dia lalai melaksanakan kewajiban-kewajibannya berarti perlu dikenakan sanksi, Termasuk pejabat yang mengeluarkan izin untuk melakukan pengawasan. Itu juga kewajiban pejabatnya, sejauh mana kegiatan itu dilakukan pengawasan sehingga tidak menimbulkan kasus seperti yang 7 ekor anak harimau yang mati itu,” jelasnya.

Menurut Budi Riyanto, satwa liar memiliki Behavior, punya tata laku yang jangan disamakan dengan manusia. Ini juga berlaku pada kasus perkawinan anjing yang viral beberapa waktu yang lalu. Dalam ini Budi melihat anjing itu tersiksa karena diperlakukan seperti manusia, seperti mengenakan pakaian.

“Yang melihat senang, tapi satwanya tersiksa. Termasuk yang 7 ekor itu anak harimau itu, diuyel-uyel padahal dia sudah harus istirahat. Jadi saya merekomendasikan harus diadakan pemeriksaan, baik dari pemerintah selaku regulator yang melakukan pengawasan itu dan pemegang izin (Penangkaran Harimau), dimana letak kelalaian-kelaian itu, dan termasuk penyakit apa sehingga menyebabkan kematian itu supaya tidak terjadi dikemudian hari untuk satwa-satwa yang punya nilai koservasi tinggi dan ini harus diungkap,” pungkasnya menanggapi berita mengenai penangkaran harimau. (*)

Responsive Images

Tinggalkan komentar