IMM Toyota - Mojokerto
Kitoshindo
Birth Beyond

Kisah Dukuh Modo Wetan Sragen yang Punya Pantangan Mendengarkan Lagu Sinden

Avatar of Andy Yuwono
Makam Syekh Muhammad Nasher atau eyang Singomodo, Dukuh Modo, Desa Kandangsapi, Kecamatan Jenar, Sragen. (Masrikin/kabarterdepan.com)
Makam Syekh Muhammad Nasher atau eyang Singomodo, Dukuh Modo, Desa Kandangsapi, Kecamatan Jenar, Sragen. (Masrikin/kabarterdepan.com)

Sragen, kabarterdepan.com – Dukuh Modo Wetan berada di desa Kandangsapi, Kecamatan jenar, Kabupaten Sragen, Jawa tengah. Di desa Kandangsapi ini memiliki dua wilayah perdukuhan, yakni Dukuh Modo Wetan dan Modo Kulon.

Di Dukuh Modo Wetan inilah masyarakatnya hingga saat ini punya pantangan menyanyikan ataupun mendengar lagu sinden (ledek). Sebab bila itu dilakukan, mitosnya akan datang mara bahaya.

Responsive Images

Meskipun berada dalam satu desa, namun Dukuh Modo Kulon masih bebas mendengar lagu sinden menggelar keramaian, misalnya seni tayuban, wayang kulit, dan campursari. Sebaliknya warga Dukuh Modo Wetan, pantang untuk menggelar keramaian meskipun mereka ada hajatan resepsi pernikahan atau unduh mantu dan khitanan. Warga di Modo Wetan meyakini jika pantangan itu dilanggar maka akan tertimpa musibah.

Kepala Desa Kandangsapi, Pandu membenarkan tentang adanya mitos tersebut. Menurutnya Dukuh Modo terbagi menjadi dua, Wetan dan Kulon.

“Pemisah kedua dukuh hanya ditandai dengan sebuah jalan menuju makam Singo Modo,” ucapnya, Senin (26/2/2024).

Sementara Makam Singo Modo terletak di paling ujung timur dari kota Kabupaten Sragen perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.

“Asal-usul Dukuh Modo Wetan yang dikenal antisinden karena dulu ada cikal bakal yang dimakamkan dukuh Modo, yang dikenal dengan Eyang Singomodo,” terangnya.

Pandu menambahkan, berdasarkan cerita juru kunci makam Syekh Muhammad Nahser atau Eyang Singomodo, beliau keluar dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat untuk menyiarkan agama Islam di wilayah Sungai Bengawan Solo.

Rombongan Syekh Nasher menetap di sebuah desa di tepi Sungai Bengawan Solo, yang saat ini menjadi Dukuh Modo.

“Itu yang saya tahu, lebih jelasnya bisa hubungi juru kunci makam Eyang Singomondo,” tambah Pandu.

Sementara Makam Syekh Nahser nampak berada di puncak perbukitan, di bawahnya terdapat banyak makam penduduk lokal. Bagi warga yang hendak mengunjungi makam, mereka harus melewati jalan menanjak melewati 94 anak tangga.

Kondisi makam Syekh Muhammad Nasher ataubEyang Singomodo yang masih terawat dan disakralkan warga. (Masrikin/kabarterdepan.com)
Kondisi makam Syekh Muhammad Nasher ataubEyang Singomodo yang masih terawat dan disakralkan warga. (Masrikin/kabarterdepan.com)

Di tempat terpisah, Juru kunci makam Syekh Nahser, Slamet Singo dalam penuturannya mengatakan, sejarah bermula dari terjadinya kekacauan di sebuah kerajaan yang diyakini adalah Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

“Pada terdesak dalam kekacauan perang, Syekh Nahser atau Eyang Singomodo bersama sahabat mengevakuasi pasukannya menuju tempat yang aman, menyusuri Bengawan Solo menggunakan gethek bambu hingga sampai ke Dukuh Modo ini,” tutur kuncen Slamet.

Disinggung terkait larangan pantangan adanya aktifitas sinden di dukuh Modo, sang juru kunci mengatakan hal itu dimulai dari keinginan Syekh Muhamad Nasher atau Eyang Singomodo bersama sahabat dan prajuritnya membangun sebuah masjid untuk menyebarkan agama Islam.

Slamet yang merupakan salah satu keturunan pengikut dari Shekh Nahser ini cerita ada salah seorang sahabat yang masih lajang, tidak ikut dalam pemasangan atap masjid tersebut, tetapi malah menonton hiburan sinden. Kemudian, sahabat Syekh Nasher bercerita kalau dirinya mengatakan suka dengan hiburan ramen-ramen sinden yang ada didesa tersebut.

Syekh Nasher menangkap maksud sabahatnya itu suka dengan pesindennya. Karena sahabat dan pesinden itu sama-sama belum menikah, akhirnya mereka pun dinikahkan. Namun, Syekh Nasher mengajukan syarat, Sinden tersebut harus berhenti dari kegiatan menyindennya.

“Eyang Singomondo atau Shekh Muhamad Nahser mengajukan syarat pernikahan, yakni Sinden harus berhenti dari menyindennya,” tutur Slamet.

Diduga karena Syekh Nasher kurang berkenan dengan Sinden,karena melanggar etika kesopanan dan syariat agama, kemudian Syekh Nasher membagi wilayahnya menjadi dua bagian wetan dan kulon.

“Untuk sahabatnya dan sinden disuruh tinggal di bagian Kulon yang saat ini dikenal dengan dukuh Modo Kulon, sedangkan Syekh Nasher di sebelah Wetan atau dukuh Modo Wetan,” ungkapnya.
Syekh Muhamad Nasher kemudian mengeluarkan maklumat melarang pengikut yang tinggal di wilayah wetan (timur) jalan mendengarkan atau membunyikan gamelan yang biasa dipakai untuk mengiringi sinden. Mereka juga dilarang menggelar hajatan atau hiburan yang mengundang sinden jika tidak ingin mendapat musibah.

Slamet menambahkan, konon menurut orang tuanya Slamet yang menjadi juru kunci makam sebelumnya, ada salah seorang warga Modo Wetan yang pernah nekat mengundang sinden namun, begitu sindennya itu pergi kejadian aneh langsung terjadi.

“Warga tersebut kejatuhan buah kelapa tepat di kepalanya hingga akhirnya meninggal dunia,” tambahnya.

Sejak saat itulah, warga setempat enggan mengundang sinden karena masih percaya dengan mitos yang berkembang dari masa lalu.

“Hingga saat ini Warga dusun Modo terutama seputaran makam Syekh Muhamad Nasher hanya boleh mendengarkan lantunan rebana atau cerita wayang saja,” terangnya.

Menanggapi soal mitos tersebut, Komar (46) salah satu warga Modo Wetan saat dikonfirmasi, Senin (26/2/24) mengungkapkan, Mitos antisinden yang masih diyakini warga, diwariskan dari generasi ke generasi secara lisan.

“Meskipun ada petilasan Makam tidak aneh jika akhirnya muncul beberapa versi yang berbeda, juga pergeseran dari fakta menjadi legenda,” singkatnya. (Kin).

Responsive Images

Tinggalkan komentar