IMM Toyota - Mojokerto
Kitoshindo
Birth Beyond

Marak “Ngemis Online” di Sosmed, Ini Kata Psikolog hingga Rektor STIKOSA AWS

Avatar of Redaksi
Gambar ilustrasi TikTok
Gambar ilustrasi TikTok

 

MOJOKERTO – Hari-hari ini marak terdengar “Pengemis Online” yang menghiasi beberapa platform media sosial berbasis video live streaming.

Responsive Images

Yang mana, penonton bisa menyawer pembuat konten dengan hadiah (gift) lalu dicairkan menjadi nominal uang (Rupiah).

Psikolog yang juga Ketua Program Studi (Kaprodi) Magister Psikologi Sains Ubaya, Dr Frikson C Sinambela, M.T., Psikolog mengatakan, prinsipnya masyarakat masih rendah literasi sehingga perilakunya juga masih tergagap-gagap ketika menghadapi kemajuan teknologi / sosial media.

“Sampai saat ini perilaku tersebut dapat dikatakan mengganggu dalam tataran norma sosial namun belum menjadi sesuatu yang negatif, karena belum berdampak langsung terhadap unsur manusianya atau belum ada korbannya kan,” ungkap Dr Frikson C Sinambela.

Lebih lanjut, Frikson C Sinambela menyampaikan, fenomena itu lebih layak bila dinilai dari norma sosial. Sedangkan dari perspektif lembaga terkait / Dinas Sosial (Dinsos), bisa jadi, orang-orang tersebut belum tercover oleh program-program pemberdayaan masyarakat yang digagas selama ini.

“Dinas Sosial bisa lebih aktif melakukan pendekatan edukasi secara langsung pada content creators maupun pemeran dalam tayangan sosmed secara langsung tersebut. Fenomena Ini merupakan dinamika sosial yang lazim terjadi saat kelompok masyarakat mengalami culture shock dengan kemajuan teknologi,khususnya yang berkaitan dengan sumber pendapatan finansial,” jelas Frickson.

Ketika cara itu dianggap hit atau tren, lanjut Frickson, dan ternyata ada orang yang menonton sambil membagikan token/simbol tertentu yang dapat ditukar dengan uang maka tercipta lah aktivitas ekonomi di situ, sehingga fenomena ini akan terus ada/hidup.

“Kalau dilakukan edukasi secara intensif nantinya fenomena tsb akan berangsur-angsur memudar / hilang / selesai. Dalam kajian perilaku sosial sebenarnya perilaku tersebut itu tidak produktif. Karena tidak melibatkan karya kreasi yang bernilai tinggi. Bahkan dalam perilaku ekonomi juga masih minim kualitas nya, karena relatif tidak ada pertukaran jasa dan barang yang menjadi salah satu syaratnya,”ulasnya.

Psikolog Sains yang akrab disapa Kak Frickson menerangkan, fenomena sosial ini tidak akan bisa diselesaikan oleh satu dua pihak. Sesuai dengan kapasitas dan otoritasnya. Jadi kalau ber bicara peran dinsos di wilayah itu, sebaiknya dilakukan langkah edukasi dan bukan semata-mata untuk menghukum dulu.

“Bisa lewat media, bisa melalui pendekatan, person to person. Bila Public Relationnya bagus,  upaya pendekatan pada pihak content creators dan pemeran pemeran nya bisa diekspos di media sehingga menjadi tayangan positif bagi masyarakat,” imbuhnya.

“Nantinya, netizen akan membaca bahwa dinsos sudah mengedukasi bahwa fenomena itu bukanlah perilaku ekonomi yang sehat. Sehingga, berangsur-angsur netizen tidak akan menyawer sehingga fenomena tersebut akan berhenti dengan sendirinya,” tuturnya.

Rektor STIKOSA AWS (Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya) Dr. Meithiana Indrasari
Rektor STIKOSA AWS (Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya) Dr. Meithiana Indrasari

Sementara itu, Rektor STIKOSA AWS (Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya) Dr. Meithiana Indrasari lebih memilih untuk menyerahkan fenomena yang sedang trending ini ke netizen.

“Menurut saya, biarkan saja. Ini era kebebasan berekspresi, termasuk membuat konten seperti itu. Di UU ITE tidak diatur sebagai pelanggaran. Biar netizen yang menilai. Kita serahkan kepada netizen,” tegasnya.

“Fenomena ini sebuah pesan bahwa di masyarakat ada kondisi seperti itu. Kalau ditelaah, pesan ini mengingatkan pemerintah sebenarnya. Mereka itu perlu disentuh. Nah, saat lepas dari sentuhan, mereka melakukan hal lain yang penting mendapat uang dan tidak melanggar hukum,” pungkasnya.

Responsive Images

Tinggalkan komentar